ASUHAN KEPERAWATAN STROKE
A.
Pendahuluan
Stroke masih merupakan penyebab utama invaliditas kecacatan sehingga
orang yangmengalaminya memiliki ketergantungan pada orang lain – pada kelompok
usia 45 tahun ke atas dan angka kematian yang diakibatnya cukup tinggi.
Perdarahan intra serebral terhitung sekitar 10-15% dari seluruh stroke
danmemiliki tingkat mortalitas lebih tinggi dari infark serebral. Literatur
lain menyatakan hanya 8–18% dari stroke keseluruhan yang bersifat hemoragik.
Namun, pengkajian retrospektif terbaru menemukan
bahwa 40.9% dari 757 kasus stroke adalah stroke hemoragik. Namun pendapat
menyatakan bahwa peningkatan presentase mungkin dikarenakan
karena peningkatan kualitas pemeriksaan seperti ketersediaan CT scan,ataupun
peningkatan penggunaan terapeutik agen antiplatelet dan warfarin yang dapat menyebabkan
perdarahan.
Stroke adalah penyebab kematian dan disabilitas utama. Dengan kombinasiseluruh
tipe stroke secara keseluruhan, stroke menempati urutan ketiga penyebab
utamakematian dan urutan pertama penyebab utama disabilitas. Morbiditas yang
lebih parahdan mortalitas yang lebih tinggi
terdapat pada stroke hemoragik dibandingkan strokeiskemik. Hanya 20%
pasien yang mendapatkan kembali kemandirian fungsionalnya.
Resiko terjadinya stroke meningkat seiring dengan usia dan lebih tinggi
pada pria dibandingkan dengan wanita pada usia berapapun. Faktor resiko
mayor meliputihipertensi arterial, penyakit diabetes mellitus, penyakit
jantung, perilaku merokok,hiperlipoproteinemia, peningkatan fibrinogen
plasma, dan obesitas. Hal lain yang dapatmeningkatkan
resiko terjadinya stroke adalah penyalahgunaan obat, pola hidup yangtidak
baik, dan status sosial dan ekonomi yang rendah
B.
Pengertian
Stroke adalah deficit neurologist akut yang
disebabkan oleh gangguan aliran darah yang timbul secara mendadak dengan tanda
dan gejala sesuai dengan daerah fokal otak yang terkena (WHO, 1989).
Stroke
atau cedera serebrovaskuler (CVA) adalah kehilangan fungsi otak yang
diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak (Smeltzer, Bare &
Hinkle, 2008).
B. Klasifikasi stroke
Berdasarkan proses patologi dan gejala klinisnya
stroke dapat diklasifikasikan menjadi :
1. stroke hemoragik
Terjadi
perdarahan cerebral dan mungkin juga perdarahan subarachnoid yeng disebabkan
pecahnya pembuluh darah otak. Umumnya terjadi pada saat melakukan aktifitas,
namun juga dapat terjadi pada saat istirahat. Kesadaran umumnya menurun dan
penyebab yang paling banyak adalah akibat hipertensi yang tidak terkontrol.
2. stroke non hemoragik
Dapat
berupa iskemia, emboli, spasme ataupun thrombus pembuluh darah otak. Umumnya
terjadi setelah beristirahat cukup lama atau angun tidur. Tidak terjadi
perdarahan, kesadaran umumnya baik dan terjadi proses edema otak oleh karena
hipoksia jaringan otak.
Stroke non hemoragik dapat juga diklasifikasikan
berdasarkan perjalanan penyakitnya, yaitu
- TIA’S (Trans Ischemic Attack), yaitu gangguan neurologist sesaat, beberapa menit atau beberapa jam saja dan gejala akan hilang sempurna dalam waktu kurang dari 24 jam
- Rind (Reversible Ischemic Neurologis Deficit) Gangguan neurologist setempat yang akan hilang secara sempurna dalam waktu 1 minggu dan maksimal 3 minggu..
- Stroke in Volution, yaitu stroke yang terjadi masih terus berkembang dimana gangguan yang muncul semakin berat dan bertambah buruk. Proses ini biasanya berjalan dalam beberapa jam atau beberapa hari.
- Stroke Komplit, yaitu gangguan neurologist yang timbul bersifat menetap atau permanent.
C. Etiologi
Ada beberapa factor risiko stroke yang sering
teridentifikasi, yaitu ;
- Hipertensi, dapat disebabkan oleh aterosklerosis atau sebaliknya. Proses ini dapat menimbulkan pecahnya pembuluh darah atau timbulnya thrombus sehingga dapat mengganggu aliran darah cerebral.
- Aneurisma pembuluh darah cerebral. Adanya kelainan pembuluh darah yakni berupa penebalan pada satu tempat yang diikuti oleh penipisan di tempat lain. Pada daerah penipisan dengan maneuver tertentu dapat menimbulkan perdarahan.
- Kelainan jantung / penyakit jantung. Paling banyak dijumpai pada pasien post MCI, atrial fibrilasi dan endokarditis. Kerusakan kerja jantung akan menurunkan kardiak output dan menurunkan aliran darah ke otak. Ddisamping itu dapat terjadi proses embolisasi yang bersumber pada kelainan jantung dan pembuluh darah.
- Diabetes mellitus (DM). Penderita DM berpotensi mengalami stroke karena 2 alasan, yeitu terjadinya peningkatan viskositas darah sehingga memperlambat aliran darah khususnya serebral dan adanya kelainan microvaskuler sehingga berdampak juga terhadap kelainan yang terjadi pada pembuluh darah serebral.
- Usia lanjut. Pada usia lanjut terjadi proses kalsifikasi pembuluh darah, termasuk pembuluh darah otak.
- Polocitemia. Pada policitemia viskositas darah meningkat dan aliran darah menjadi lambat sehingga perfusi otak menurun.
- Peningkatan kolesterol (lipid total). Kolesterol tubuh yang tinggi dapat menyebabkan aterosklerosis dan terbentuknya embolus dari lemak.
- Obesitas. Pada obesitas dapat terjadi hipertensi dan peningkatan kadar kolesterol sehingga dapat mengakibatkan gangguan pada pembuluh darah, salah satunya pembuluh darah otak.
- Perokok. Pada perokok akan timbul plaque pada pembuluh darah oleh nikotin sehingga terjadi aterosklerosis.
- Kurang aktivitas fisik. Kurang aktivitas fisik dapat juga mengurangi kelenturan fisik termasuk kelenturan pembuluh darah (embuluh darah menjadi kaku), salah satunya pembuluh darah otak.
D. Patofisiologi
1. Stroke
non hemoragik
Iskemia
disebabkan oleh adanya penyumbatan aliran darah otak oleh thrombus atau
embolus. Trombus umumnya terjadi karena berkembangnya aterosklerosis pada
dinding pembuluh darah, sehingga arteri menjadi tersumbat, aliran darah ke area
thrombus menjadi berkurang, menyebabkan iskemia kemudian menjadi kompleks
iskemia akhirnya terjadi infark pada jaringan otak. Emboli disebabkan oleh
embolus yang berjalan menuju arteri serebral melalui arteri karotis. Terjadinya
blok pada arteri tersebut menyebabkan iskemia yang tiba-tiba berkembang cepat
dan terjadi gangguan neurologist fokal. Perdarahan otak dapat ddisebabkan oleh
pecahnya dinding pembuluh darah oleh emboli.
2. Stroke
hemoragik
Pembuluh
darah otak yang pecah menyebabkan darah mengalir ke substansi atau ruangan
subarachnoid yang menimbulkan perubahan komponen intracranial yang seharusnya
konstan. Adanya perubahan komponen intracranial yang tidak dapat dikompensasi
tubuh akan menimbulkan peningkatan TIK yang bila berlanjut akan menyebabkan
herniasi otak sehingga timbul kematian. Di samping itu, darah yang mengalir ke
substansi otak atau ruang subarachnoid dapat menyebabkan edema, spasme pembuluh
darah otak dan penekanan pada daerah tersebut menimbulkan aliran darah
berkurang atau tidak ada sehingga terjadi nekrosis jaringan otak.
E. Tanda dan gejala
Tanda dan gejala yang muncul sangat tergantung pada
daerah dan luasnya daerah otak yang terkena.
- Pengaruh terhadap status mental. Tidak sadar : 30% – 40%, Konfuse : 45% dari pasien biasanya sadar
- Daerah arteri serebri media, arteri karotis interna akan menimbulkan: Hemiplegia kontralateral yang disertai hemianesthesia (30%-80%), afasia bila mengenai hemisfer dominan (35%-50%), apraksia bila mengenai hemisfer non dominan (30%)
- Daerah arteri serebri anterior akan menimbulkan gejala: hemiplegia dan hemianesthesia kontralateral terutama tungkai (30%-80%), inkontinensia urin, afasia, atau apraksia tergantung hemisfer mana yang terkena
- Daerah arteri serebri posterior: nyeri spontan pada kepala, afasia bila mengenai hemisfer dominan (35-50%)
- Daerah vertebra basiler akan menimbulkan: Sering fatal karena mengenai pusat-pusat vital di batang otak, hemiplegia alternans atau tetraplegia, kelumpuhan pseudobulbar (kelumpuhan otot mata, kesulitan menelan, emosi labil)
Apabila
dilihat bagian hemisfer mana yang terkena, gejala dapat berupa:
- Stroke hemisfer kanan; Hemiparese sebelah kiri tubuh, penilaian buruk, mempunyai kerentanan terhadap sisi kontralateral sebagai kemungkinan terjatuh ke sisi yang berlawanan
- Stroke hemisfer kiri; mengalami hemiparese kanan, perilaku lambat dan sangat berhati-hati, kelainan bidang pandang sebelah kanan, disfagia global, afasia dan mudah frustasi
F. Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan penunjang disgnostik yang dapat
dilakukan adalah :
- laboratorium: mengarah pada pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, kolesterol, dan bila perlu analisa gas darah, gula darah dsb.
- CT scan kepala untuk mengetahui lokasi dan luasnya perdarahan atau infark
- MRI untuk mengetahui adanya edema, infark, hematom dan bergesernya struktur otak
- angiografi untuk mengetahui penyebab dan gambaran yang jelas mengenai pembuluh darah yang terganggu
G. Penatalaksanaan medis
Secara umum, penatalaksanaan pada pasien stroke
adalah:
- Posisi kepala dan badan atas 20-30 derajat, posisi miring jika muntah dan boleh dimulai mobilisasi bertahap jika hemodinamika stabil
- Bebaskan jalan nafas dan pertahankan ventilasi yang adekuat, bila perlu diberikan ogsigen sesuai kebutuhan
- Tanda-tanda vital diusahakan stabil
- Bed rest
- Koreksi adanya hiperglikemia atau hipoglikemia
- Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
- Kandung kemih yang penuh dikosongkan, bila perlu lakukan kateterisasi
- Pemberian cairan intravena berupa kristaloid atau koloid dan hindari penggunaan glukosa murni atau cairan hipotonik
- Hindari kenaikan suhu, batuk, konstipasi, atau suction berlebih yang dapat meningkatkan TIK
- Nutrisi per oral hanya diberikan jika fungsi menelan baik. Jika kesadaran menurun atau ada gangguan menelan sebaiknya dipasang NGT
- Penatalaksanaan spesifik berupa:
- Stroke non hemoragik: asetosal, neuroprotektor, trombolisis, antikoagulan, obat hemoragik
- Stroke hemoragik: mengobati penyebabnya, neuroprotektor, tindakan pembedahan, menurunkan TIK yang tinggi
RENCANA
ASUHAN KEPERAWATAN
NO
|
DIAGNOSA KEPERAWATAN
|
TUJUAN DAN KRITERIA HASIL
|
INTERVENSI
|
1.
|
Bersihan
jalan nafas tidak efektif b.d. penumpukan sputum (karena kelemahan, hilangnya
refleks batuk)
|
Pasien
mampu mempertahankan jalan nafas yang paten.
Kriteria
hasil :
a. Bunyi
nafas vesikuler
b. RR
normal
c. Tidak
ada tanda-tanda sianosis dan pucat
d. Tidak
ada sputu
|
1. Auskultasi
bunyi nafas
2. Ukur
tanda-tanda vital
3. Berikan
posisi semi fowler sesuai dengan kebutuhan (tidak bertentangan dgn masalah
keperawatan lain)
4. Lakukan
penghisapan lender dan pasang OPA jika kesadaran menurun
5. Bila
sudah memungkinkan lakukan fisioterapi dada dan latihan nafas dalam
6. Kolaborasi:
· Pemberian
oksigen
· Laboratorium:
Analisa gas darah, darah lengkap dll
· Pemberian
obat sesuai kebutuhan
|
2.
|
Penurunan
perfusi serebral b.d. adanya perdarahan, edema atau oklusi pembuluh darah
serebral
|
Perfusi
serebral membaik
Kriteria
hasil :
a. Tingkat
kesadaran membaik (GCS meningkat)
b. fungsi
kognitif, memori dan motorik membaik
c. TIK
normal
d. Tanda-tanda
vital stabil
e. Tidak
ada tanda perburukan neurologis
|
1. Pantau
adanya tanda-tanda penurunan perfusi serebral: GCS, memori, bahasa respon
pupil dll
2. Observasi
tanda-tanda vital (tiap jam sesuai kondisi pasien)
3. Pantau
intake-output cairan, balance tiap 24 jam
4. Pertahankan
posisi tirah baring pada posisi anatomis atau posisi kepala tempat tidur
15-30 derajat
5. Hindari
valsava maneuver seperti batuk, mengejan dsb
6. Pertahankan
ligkungan yang nyaman
7. Hindari
fleksi leher untuk mengurangi resiko jugular
8. Kolaborasi:
· Beri
oksigen sesuai indikasi
· Laboratorium:
AGD, gula darah dll
· Pemberian
terapi sesuai saran
· CT
scan kepala untuk diagnosa dan monitoring
|
3.
|
Gangguan
mobilitas fisik b.d. kerusakan neuromuskuler, kelemahan, hemiparese
|
Pasien
mendemonstrasikan mobilisasi aktif
Kriteria
hasil :
a. tidak
ada kontraktur atau foot drop
b. kontraksi
otot membaik
c. mobilisasi
bertahap
|
1. Pantau
tingkat kemampuan mobilisasi klien
2. Pantau
kekuatan otot
3. Rubah
posisi tiap 2 jam
4. Pasang
trochanter roll pada daerah yang lemah
5. Lakukan
ROM pasif atau aktif sesuai kemampuan dan jika TTV stabil
6. Libatkan
keluarga dalam memobilisasi klien
7. Kolaborasi:
fisioterapi
|
4.
|
Gangguan
komunikasi verbal b.d. kerusakan neuromuscular, kerusakan sentral bicara
|
Komunikasi
dapat berjalan dengan baik
Kriteria
hasil :
a. Klien
dapat mengekspresikan perasaan
b. Memahami
maksud dan pembicaraan orang lain
c. Pembicaraan
pasien dapat dipahami
|
1. Evaluasi
sifat dan beratnya afasia pasien, jika berat hindari memberi isyarat non
verbal
2. Lakukan
komunikasi dengan wajar, bahasa jelas, sederhana dan bila perlu diulang
3. dengarkan
dengan tekun jika pasien mulai berbicara
4. Berdiri
di dalam lapang pandang pasien pada saat bicara
5. Latih
otot bicara secara optimal
6. Libatkan
keluarga dalam melatih komunikasi verbal pada pasien
7. Kolaborasi
dengan ahli terapi wicara
|
5.
|
(Risiko)
gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d. intake nutrisi tidak adekuat
|
Kebutuhan
nutrisi terpenuhi
Kriteria
hasil :
a. Tidak
ada tanda-tanda malnutrisi
b. Berat
badan dalam batas normal
c. Conjungtiva
ananemis
d. Tonus
otot baik
e. Lab:
albumin, Hb, BUN dalam batas normal
|
1. Kaji
faktor penyebab yang mempengaruhi kemampuan menerima makan/minum
2. Hitung
kebutuhan nutrisi perhari
3. Observasi
tanda-tanda vital
4. Catat
intake makanan
5. Timbang
berat badan secara berkala
6. Beri
latihan menelan
7. Beri
makan via NGT
8. Kolaborasi
: Pemeriksaan lab (Hb, Albumin, BUN), pemasangan NGT, konsul ahli gizi
|
6.
|
Perubahan
persepsi-sensori b.d. perubahan transmisi saraf sensori, integrasi, perubahan
psikologi
|
Persepsi
dan kesadaran akan lingkungan dapat dipertahankan
|
1. Cari
tahu proses patogenesis yang mendasari
2. Evaluasi
adanya gangguan persepsi: penglihatan, taktil
3. Ciptakn
suasana lingkungan yang nyaman
4. Evaluasi
kemampuan membedakan panas-dingin, posisi dan proprioseptik
5. Catat
adanya proses hilang perhatian terhadap salah satu sisi tubuh dan libatkan
keluarga untuk membantu mengingatkan
6. Ingatkan
untuk menggunakan sisi tubuh yang terlupakan
7. Bicara
dengan tenang dan perlahan
8. Lakukan
validasi terhadap persepsi klien dan lakukan orientasi kembali
|
7.
|
Kurang
kemampuan merawat diri b.d. kelemahan, gangguan neuromuscular, kekuatan otot
menurun, penurunan koordinasi otot, depresi, nyeri, kerusakan persepsi
|
Kemampuan
merawat diri meningkat
Kriteria
hasil :
a. mendemonstrasikan
perubahan pola hidup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
b. Melakukan
perawatan diri sesuai kemampuan
c. Mengidentifikasi
dan memanfaatkan sumber bantuan
|
1. Pantau
tingkat kemampuan klien dalam merawat diri
2. Berikan
bantuan terhadap kebutuhan yang benar-benar diperlukan saja
3. Buat
lingkungan yang memungkinkan klien untuk melakukan ADL mandiri
4. Libatkan
keluarga dalam membantu klien
5. Motivasi
klien untuk melakukan ADL sesuai kemampuan
6. Sediakan
alat Bantu diri bila mungkin
7. Kolaborasi:
pasang DC jika perlu, konsultasi dengan ahli okupasi atau fisioterapi
|
8.
|
Risiko
cedera b.d. gerakan yang tidak terkontrol selama penurunan kesadaran
|
Klien
terhindar dari cedera selama perawatan
Kriteria
hasil :
a. Klien
tidak terjatuh
b. Tidak
ada trauma dan komplikasi lain
|
1. Pantau
tingkat kesadaran dan kegelisahan klien
2. Beri
pengaman pada daerah yang sehat, beri bantalan lunak
3. Hindari
restrain kecuali terpaksa
4. Pertahankan
bedrest selama fase akut
5. Beri
pengaman di samping tempat tidur
6. Libatkan
keluarga dalam perawatan
7. Kolaborasi:
pemberian obat sesuai indikasi (diazepam, dilantin dll)
|
9.
|
Kurang
pengetahuan (klien dan keluarga) tentang penyakit dan perawatan b.d. kurang
informasi, keterbatasan kognitif, tidak mengenal sumber
|
Pengetahuan
klien dan keluarga tentang penyakit dan perawatan meningkat.
Kriteria
hasil :
a. Klien
dan keluarga berpartisipasi dalam proses belajar
b. Mengungkapkan
pemahaman tentang penyakit, pengobatan, dan perubahan pola hidup yang
diperlukan
|
1. Evaluasi
derajat gangguan persepsi sensuri
2. Diskusikan
proses patogenesis dan pengobatan dengan klien dan keluarga
3. Identifikasi
cara dan kemampuan untuk meneruskan progranm perawatan di rumah
4. Identifikasi
factor risiko secara individual dal lakukan perubahan pola hidup
5. Buat
daftar perencanaan pulang
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar